Selasa, 21 Oktober 2008

Wak Ayo

Jam berdentang, tanda pulang. Anak-anak berhamburan keluar kelas dengan gembira. Menyeret tas-tasnya yang berat oleh buku-buku pelajaran. Aku bergegas meninggalkan kelas, mencari teman-teman sepermainan menuju pulang.
Kutemui Us, Enceng dan Udi yang sudah berkumpul dibawah pohon bambu dipojok sekolah. Us tampak bercerita sesuatu, wajahnya tampak sumringah dan menahan tawanya. Enceng dan Udi tampak tersenyum. Aku menghampiri mereka. Ternyata Us sedang bercerita tentang pengalamannya menjahili Ii saat mau buang hajat di pancoran. Aku pun ikut tertawa.
Setelah bercerita tentang menjahili Ii, Us bercerita bahwa setiap sore, mobil Wak Ayo selalu lewat sekolah dan berjalan dengan lambat. Bila kita berniat naik ke mobil baknya sangatlah mudah, enak lho katanya.ngeennggg....kapan lagi naik mobil gratis, Man?,”. Ajaknya kepadaku. Aku berpikir sejenak, kutatap Enceng dan Udi. Mereka tampak tertarik. Kami memang belum pernah sama sekali menaiki mobil. Mobil di kampung kami ya, hanya mobil pengangkut sayuran milik wak Ayo itu. karena itu, akhirnya, kami setuju untuk mencegat mobil Wak Ayo dan naik di belakangnya sebab ingin mencoba naik mobil...ngeeeennnngggg ...Kami bertiga pulang bersama-sama. Nanti jam tiga sore kumpul kembali di bawah pohon duren untuk melakukan aksi naik mobil gratis...
Waktu beranjak begitu cepat. Selepas makan siang dan shalat dzuhur, aku mecoba tiduran di beranda depan. Tampak Bapak pulang sawah, badannya berlumuran lumpur, tangan kirinya menenteng belut kesukaan adik. Tak terasa, mulut menguap beberapa kali dan aku tertidur pulas. Terdengar suara ngeeennggggg...dan deru mobil yang keras.....Us menghampiiri dan berkata, ‘ segera naik, Man,”. Nanti ketinggalan..suara terdengar menghentak. Aku meloncat naik mobil bak terbuka itu...udi dan Enceng mengikuti...angin sore menyeruak menyentuh wajah kami...ngeeeeennngggg.....
Man...man....maaannn...bangun! suara itu mengagetkanku. Samar-samar wajah Ibu, menatapku dengan serius. ,” Man, itu teman-temanmu menunggu!”kata Ibu. Aku terperanjat. Mimpi rupanya. Mimpi naik mobil bak terbuka milik Wak Ayo. Kupalingkan muka kea rah teman-teman yang menunggu. Us tampak mengerdipkan matanya, Udi dan Enceng memberi tanda dengan mengangkat jempol tangannya. Gimana Man, jadi enggak ?,” Tanya Us. “Jadi !” seruku.
Kami berempat bergegas menuju sekolah hendak mencegat mobil Wak Ayo, hanya untuk mencoba bagaimana nikmatnya naik mobil. Ya, naik mobil bak terbuka, dengan terpaan angin sore yang sejuk dan mengelilingi desa tanpa jalan kaki. Jalan menuju sekolah tidak terlalu jauh, hanya perlu melintasi sungai kecil dan melewati kebun singkong milik Haji Ibrahim yang sejuk. Saat melewati kebun singkong Haji Ibrahim, Enceng dan Udi tak henti bersiulan sambil bernyanyi dangdut Kang Oma Si Raja Dangdut.
Us tampak semangat, aku tahu ia pun belum pernah sama sekali naik mobil. Begitu pun Enceng dan Udi. Kami anak kampung yang jauh dari kota, alat transportasi yang ada hanya delman Kang Idi, yang tiap hari hilir mudik menarik orang kampung yang hendak bepergian, entah ke pasar ataupun ke kampung tetangga. Kendaraan roda empat yang ada hanya mobil bak terbuka milik Wak Ayo, itupun sudah tua dan blepotan sampah-sampah sayuran. Sementara pemilik motor tidak ada sama sekali sebab mana ada masyarakat yang mampu beli motor, untuk keperluan sehari-hari saja sulit. Kalau Wak Ayo sih, karena ia keturunan orang kaya tadinya. Mobil bak terbuka Wak ayo tadinya adalah milik orang kota yang memiliki utang kepada Mak Diah, Ibunya Wak Ayo. Karena hutangnya tidak terbayar maka dibayar dengan mobil bak terbuka tersebut. Meskipun tergolong mobil tua, tapi mobil itu sangat bermanfaat bagi Wak Ayo untuk menarik sayuran warga desa ke pasar.
Tiap sore, mobil Wak Ayo mengangkut sayuran,dan selalu lewat di depan sekolah jalannya cukup menanjak jadi mobil berjalan pelan, saat itulah kita bisa meloncat ke dalam bak mobil yang terbuka tersebut. Itulah rencananya. Kami sampai di depan sekolah, jalanan cukup licin dan Us berkata bahwa saat mobil menanjak dan berjalan pelan segeralah meloncat ke dalam bak mobil yang terbuka.
Us berkata bahwa mobil bak terbuka miliki wak Ayo biasanya lewat pukul 16.15 tepat. Kami bersiap sambil menerawang ke arah timur tempat datangnya mobil. Enceng dan Udi tampak gelisah, mobil yang ditunggu belum datang juga. Waktu yang menunjukkan pukul 16.15 tepat . Apakah Us berbohong ?,”. Us juga tertegun, kenapa mobil belum datang juga. Apakah Wak Ayo tidak menarik sayuran sore ini atau Wak Ayo berhalangan. Us tertegun sambil duduk di tanah basah, pantatnya tampak kotor karena tanah yang didudukinya becek. Us menerawang kearah timur, matanya tak berkedip mengawasi situasi jalanan. Angin sore berhembus pelan, membelai wajah kami dengan lembutnya.
Aku pun mulai gelisah, kami tidak bercakap sedikitpun. Udi dan Enceng yang sejak tadi berdiri kemudian duduk disamping Us. Tanah becek yang didudukinya tak dipedulikan, kegelisahan menyelimuti rona wajah mereka. Awan hitam bergelayut diarah timur, wajahnya muram dan tak bersemangat menyertai hati kami yang kecewa. Ngeeeennnggg.....desah Udi dengan wajah pesimis. Enceng yang sedari tadi terdiam, mengernyitkan dahinya dan berkata,” Mungkinkah Wak Ayo sakit? Atau mobilnya selip di belokan dekat sungai ?,”. Kami bertiga tidak menjawab.
Hari beranjak gelap ketika kami masih setia menunggu mobil Wak Ayo. Us tampak terdiam. Tak ada kata-kata sedikitpun. Mulutnya terkatup seperti dikunci. Enceng dan Udi tertunduk saling melempar rasa sesalnya. Aku ikut terdiam. Aku merasakan rasa kecewa dan kekesalan mereka menunggu mobil Wak Ayo. Us kemudian berdiri tampak pantanya blepotan lumpur kotor, ia berkata lemah. “mungkin Wak Ayo tidak mau kita menumpang mobilnya,”serunya ketus. Aku memutuskan mengajak Us, Udi dan Enceng pulang sebab hari sudah gelap takut Bapak dan Ibu kehilangan dan mencari-cari. Rona kekecewaan menyelimuti wajah kami berempat, bayangan indahnya naik mobil Wak Ayo hilang sudah, diganti dengan kekecewaan mendalam pada Wak Ayo...
Kami bergegas pulang, melewati kebun singkong Haji Ibrahim dan melintasi sungai kecil menuju kampung membawa kekecewaan. Suara jengkerik menyertai kepulangan kami. Mungkinkah kekecewaan untuk Wak Ayo itu tepat?. Kami tidak tahu. Mungkin saja Wak Ayo ada halangan lain, atau mungkin petani sayur tidak panen?.
Sampai di kampung, hari sudah malam.
Kami terkejut dengan kerumunan orang di rumah Pak RT yang menyebut-nyebut Wak Ayo dan mobil bak terbukanya. Kami mendekat, beberapa orang tua berbicara dengan serius. “Bagaimana kejadiannya , Run ? ,”.Terdengar suara Pak RT bertanya kepada Kang Irun. Kang Irun adalah tukang sayur di desa sebelah yang biasa menitipkan sayurannya kepada Wak Ayo untuk di bawa ke pasar. “Wak Ayo kecelakaan, mobil bak terbukanya tergelincir masuk jurang dekat sungai kecil”.
“Orang-orang desa sedang menolongnya”. Empat ekor kerbau sedang mencoba menarik mobil bak terbukanya”. “belum berhasil diangkat Pak !“. Saya bergegas pulang karena istri sedang sakit. “Nasib Wak Ayo sendiri saya tidak tahu”. Kang irun menuturkan ceritanya sambil berurai air mata. Semua orang terdiam. Kami berempat ikut terdiam. Angin malam menelisik hati kami masing-masing. Seolah menertawakan rasa kekecewaan kami yang berlebihan pada Wak Ayo....maafkan kami Wak...
(kisah misua waktu kecil dulu di kampung)

Terimakasih atas waktunya untuk berkunjung di rumah kecil ini. O ya, trims juga commentnya.
EmoticonEmoticon