Saat saat indah di sekolah...
tak terlupakan..
saat-saat lulus sekolah dan jadi pengangguran adalah saat-saat paling menyedihkan..
(kata-kata ini saya baca di sms dari teman lama satu sekolah)
Ketika membaca pesan singkat tersebut, saya berupaya merenung.
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan kita makin menghasilkan para penganggur yang angkanya semakin makin tinggi. Saya peroleh data Sakernas BPS (2008), menunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikan tingkat dasar (44,39 %) dan menengah (40,44%) merupakan kontributor terbesar terhadap angka pengangguran di Indonesia. Ini baru tahun 2008, yang terbaru (tahun 2010) terus terang saya belum memiliki, mungkin lebih besar lagi.
Pendidikan salah satu cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tetapi keberadaanya kini seolah tidak berdaya ketika lulusannya harus bersaing kompetitif di dunia kerja yang begitu beragam jenis dan substansi kompetensi yang diperlukannya. Bahkan kini, ditenggarai makin tinggi pendidikan seseorang juga semakin menunjukkan rendahnya tingkat kemandirian. Maka bisa dikatakan pengangguran terdidik semakin "membludak", tanggungjawab institusi pendidikan dan pemerintah semakin menumpuk untuk mengatasinya. Menurut para pakar pendidikan hal ini salahsatunya dikarenakan relevansi pendidikan dengan dunia kerja sudah semakin renggang dan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sendiri-sendiri. Meski kita mengetahui bahwa pendidikan kini digarap melalui dua jalur yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal dan informal tetap saja relevansi pendidikan dengan dunia kerja nampak belum saling klop. Pendidikan non formal dan informal yang ditenggarai sebagai jalur kedua yang membantu dalam mengurangi pengangguran terdidik ternyata masih perlu meningkatkan layanan programnya menjadi lebih tajam dan terarah. Lembaga kursus di Indonesia yang jumlahnya sepuluribuan dan lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang jumlahnya limaribuan perlu semakin menajamkan layanan program dalam menyeleraskan program yang dilakukannya dengan kebutuhan dunia kerja.
Ada sedikit angin segar ketika, Kemendiknas mencoba membuat solusi dengan merencanakan sebuah program melalui Program Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja awal Januari 2010 silam , dengan menitikberatkan pada pembekalan kompetensi lulusan yang berjiwa wirausaha dan selaras dengan kebutuhan di dunia kerja. Diharapkan program ini dapat menyiapkan sumber daya manusia yang siap kerja dan/atau dapat menciptakan kerja serta mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, nasional maupun internasional.
Saya sendiri cukup tertarik dengan ide dari Mendiknas yang direncanakan sejak awal Januari 2010 silam.
saya berhenti merenung ...
Dan hilanglah ide saya tentang bagaimana supaya pendidikan di negara indonesia ini bisa relevan dengan dunia kerja . Meski itu bukan urusan saya, sebagai warga masyarakat yang peduli pendidikan ...mmhhmmm..(: sok pahlawan...hehehe..,) saya berharap bisa menyumbangkan secuil pemikiran tentang implementasi program ini meski dalam kerangka sederhana.
Perlu diamati dan dijadikan pemikiran adalah bagaimana implementasinya. Terkait penyelerasan pendidikan dengan dunia kerja ? program ini menurut saya tidak jauh berbeda dengan dengan link and match yaitu untuk mengatasi soal pengangguran terdidik. Yang saya lihat program link and match beberapa tahun lalu bersifat mengklopkan lembaga pendidikan, pasar atau tempat wirausaha, dan pemerintah.
Sementara ide penyelerasan pendidikan dengan dunia kerja memerlukan sinergitas banyak pihak dan lembaga yang harus terlibat. Bukan hanya industri saja, tetapi terkait kerjasama dengan beberapa kementrian. Semakin banyak yang terlibat tentu penanganannya memerlukan ketelitian dan usaha yang sungguh-sungguh serta pembagian peran yang sesuai. Saya melihat bahwa kerjasama antar lembaga dalam melakukan sebuah program di Indonesia cenderung masih kurang erat. Yang ada lebih pada melaksanakan program masing-masing karena ego lembaga, sebab rasa "kegotongroyongan" sebagai sebuah nilai luhur bangsa cenderung sudah mulai menipis. Kegamangan inilah yang menjadi pemikiran saya.
tak terlupakan..
saat-saat lulus sekolah dan jadi pengangguran adalah saat-saat paling menyedihkan..
(kata-kata ini saya baca di sms dari teman lama satu sekolah)
Ketika membaca pesan singkat tersebut, saya berupaya merenung.
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan kita makin menghasilkan para penganggur yang angkanya semakin makin tinggi. Saya peroleh data Sakernas BPS (2008), menunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikan tingkat dasar (44,39 %) dan menengah (40,44%) merupakan kontributor terbesar terhadap angka pengangguran di Indonesia. Ini baru tahun 2008, yang terbaru (tahun 2010) terus terang saya belum memiliki, mungkin lebih besar lagi.
Pendidikan salah satu cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tetapi keberadaanya kini seolah tidak berdaya ketika lulusannya harus bersaing kompetitif di dunia kerja yang begitu beragam jenis dan substansi kompetensi yang diperlukannya. Bahkan kini, ditenggarai makin tinggi pendidikan seseorang juga semakin menunjukkan rendahnya tingkat kemandirian. Maka bisa dikatakan pengangguran terdidik semakin "membludak", tanggungjawab institusi pendidikan dan pemerintah semakin menumpuk untuk mengatasinya. Menurut para pakar pendidikan hal ini salahsatunya dikarenakan relevansi pendidikan dengan dunia kerja sudah semakin renggang dan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sendiri-sendiri. Meski kita mengetahui bahwa pendidikan kini digarap melalui dua jalur yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal dan informal tetap saja relevansi pendidikan dengan dunia kerja nampak belum saling klop. Pendidikan non formal dan informal yang ditenggarai sebagai jalur kedua yang membantu dalam mengurangi pengangguran terdidik ternyata masih perlu meningkatkan layanan programnya menjadi lebih tajam dan terarah. Lembaga kursus di Indonesia yang jumlahnya sepuluribuan dan lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang jumlahnya limaribuan perlu semakin menajamkan layanan program dalam menyeleraskan program yang dilakukannya dengan kebutuhan dunia kerja.
Ada sedikit angin segar ketika, Kemendiknas mencoba membuat solusi dengan merencanakan sebuah program melalui Program Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja awal Januari 2010 silam , dengan menitikberatkan pada pembekalan kompetensi lulusan yang berjiwa wirausaha dan selaras dengan kebutuhan di dunia kerja. Diharapkan program ini dapat menyiapkan sumber daya manusia yang siap kerja dan/atau dapat menciptakan kerja serta mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, nasional maupun internasional.
Saya sendiri cukup tertarik dengan ide dari Mendiknas yang direncanakan sejak awal Januari 2010 silam.
saya berhenti merenung ...
Dan hilanglah ide saya tentang bagaimana supaya pendidikan di negara indonesia ini bisa relevan dengan dunia kerja . Meski itu bukan urusan saya, sebagai warga masyarakat yang peduli pendidikan ...mmhhmmm..(: sok pahlawan...hehehe..,) saya berharap bisa menyumbangkan secuil pemikiran tentang implementasi program ini meski dalam kerangka sederhana.
Perlu diamati dan dijadikan pemikiran adalah bagaimana implementasinya. Terkait penyelerasan pendidikan dengan dunia kerja ? program ini menurut saya tidak jauh berbeda dengan dengan link and match yaitu untuk mengatasi soal pengangguran terdidik. Yang saya lihat program link and match beberapa tahun lalu bersifat mengklopkan lembaga pendidikan, pasar atau tempat wirausaha, dan pemerintah.
Sementara ide penyelerasan pendidikan dengan dunia kerja memerlukan sinergitas banyak pihak dan lembaga yang harus terlibat. Bukan hanya industri saja, tetapi terkait kerjasama dengan beberapa kementrian. Semakin banyak yang terlibat tentu penanganannya memerlukan ketelitian dan usaha yang sungguh-sungguh serta pembagian peran yang sesuai. Saya melihat bahwa kerjasama antar lembaga dalam melakukan sebuah program di Indonesia cenderung masih kurang erat. Yang ada lebih pada melaksanakan program masing-masing karena ego lembaga, sebab rasa "kegotongroyongan" sebagai sebuah nilai luhur bangsa cenderung sudah mulai menipis. Kegamangan inilah yang menjadi pemikiran saya.