Senin, 27 Oktober 2008

Daerah Tak dikenal

Kami berada di daerah yang tidak kami kenal.Sebuah daerah perkebunan dengan sungai-sungai kecil yang mengalirkan air kecoklatan dan bermuara ke empang-empang kecil yang dalam. Beberapa orang tampak terkejut ketika tahu mereka berada di tempat yang tidak dikenal sama sekali. hamparan tanah kering dan luas diselimuti beberapa pohon hutan yang tidak dikenal.

Penduduk asli menyebutnya daerah tersebut daerah tak dikenali. Daerah ini sejak lama terbengkalai, ada sebuah tanggungjawab yang dibebankan kepada kami untuk meningkatkan kualitas daerah ini sebagai daerah yang disebut "layak huni". Melihat kondisi daerahnya sendiri, kami berpikir bahwa daerah tidak dikenal ini tak mungkin dijadikan layak huni sebab pertama daerah ini tidak dikenal, jauh dari pusat kota,kondisi tanah yang kurang baik untuk pertanian atau perkebunan, posisi geografis tanahpun tampak kurang menunjang untuk dijadikan lahan tempat tinggal.serba tidak mungkin.

Beberapa diantara kami asyik menceburkan diri ke empang kecil yang berair coklat kehitaman, seperti cairan coklat yang tumpah kedalam empang saja, dalamnya setinggi orang dewasa. Beberapa ekor ikan bersliweran begitu jinak ditangkap. Ikan-ikan tersebut berukuran sebesar ujung jempol kaki orang dewasa, berkulit putih dan mengkilap, hanya saja warna matanya tidak terang dan sisik yang menyelimuti badannya sedikit kasar, mungkin sudah berevolusi. Kami tidak mengenal jenis ikan apakah itu?. Kami asyik menangkap ikan tersebut dan mengumpulkannya dipinggir empang.

Beberapa penduduk asli daerah tak dikenal itu, turut menceburkan diri ke dalam empang. berlomba menangkap ikan-ikan tak dikenal tersebut dengan gembira bersama kami. Mereka bilang bahwa ikan tersebut ikan mahal. Bila dijual ke pasar harganya tinggi. Tapi sayang jarak tempuh ke pasar sangat jauh,musatahil menjualnya. Lebih baik dimakan saja.

Beberapa orang mengumpulkan kayu bakar, membakarnya dan membersihkan ikan tak dikenal tersebut dengan air mineral yang kami bawa. setelah itu kami membakar ikan-ikan tersebut beramai-ramai. Ada bau berbeda ketika api menjilat-jilat menyentuh bagaian badan si ikan. Seperti baua zat kimia yang menyesakkan dada dan perut. Beberapa orang perempuan uyang ada diantara kami, terjatuh dan pingsan. Kami terkejut. sangat terkejut. Bau itu semakin menyengat dan menyesakkan napas dan dada, mengundang seisi perut untuk memuntahkannya keluar.

Beberapa laki-laki mulai menutup hidungnya, memegang perutnya dan mengeluarkan muntahnya. bau ikan bakar itu betul-betul berbeda, jauh sekali dengan bau ikan panggang yang biasa kami hirup di kampung kami. betul-betul ikan aneh. Aku terbangun ketika si kecil menangis dan minta dibuatkan susu formula...aku bersyukur, pengalaman tadi betul-betul mimpi. Jam berdetak mengiringi jantungku yang berdegup kencang. pukul 02.00. terima kasih ya Allah......

Minggu, 26 Oktober 2008

liverpool vs chelsea

Pertandingan besar yang mendebarkan. Chelsea mengakhiri rekor tak terkalahkannya. Liverpool membungkam fans the blues, 0-1 di stamford bridges.

Langkah bagus untuk the reds. Memanfaatkan laga tandang dengan sebaik-baiknya dan akhirnya memperoleh poin 3 sebagai bekal memuncaki kalesemen sementara liga inggris.

Meski tanpa torres, the reds tampil dengan kolektifitas permainnnya yang berkarakter khas dan selalu menggigit. Kuyt tampil dengan gaya fight-nya yang khas. Alonso jadi penentu kemenangan the reds dan ini tentunya menjadi sebuah catatan yang baik untuknya dan bagi benitez sendiri untuk menatap tangga juara ke depan.

Bravo the reds!raih penuh point di liga champions!

Rabu, 22 Oktober 2008

Jo, Si Badut

Duel berlangsung tak seimbang.Beberapa tusukan pisau kecil mencabik dada dan punggung Kimi.Tetesan darah segarnya tercium anyir menembus rongga hidung lawannya,Jo.

Jo.Seorang pemeran badut di kelompok drama kampung ternyata seorang yang mampu berlaku garang terhadap lawan duelnya. Setelah berbagai cacian dan makian yang menyelimuti hatinya, menggelapkan matanya dan menghilangkan suara lucunya.Cras..cras..sabetan pisau kecilnya merobek perut Kimi yang langsing terbalut kain merah.

Kimi terkapar ditemani pisau kecil Jo yang melongok sampai jantungnya. Malam itulah Kimi meninggalkan kita semua kawan...

Semua orang yang hadir dalam ruangan sempit berbau alkohol itu terdiam.Menyimpan dendam mendalam pada Jo. Kimi anggota gank termanis yang dikenalnya sebagai penghibur kala musim hujan datang, kini tidak dapat lagi menjadi pengobat rindu dan dinginnya malam yang akan mereka lewati bulan Oktober mendatang.

"Kita harus mencingcang Jo, Si Badut"!, Bibu berseru. Bunuh!Bunuh!Bunuh!. semua serentak dan berteriak, memaki dan menyesal tidak menyaksikan kepergian Kimi. Kesiap wajah mereka kehitaman menyertai murka mereka yang berlebihan pada Jo,si Badut!.

Jelang kematian Kimi, Wanita penghibur gank Gula Gula. Suasana kaampung tampak mencekam.Setiap warga tampak berhati-hati dalam berbicara.Malam-malam dihiasi suasana dingin dan kebekuan yang mengiris kulit hingga ke tulang belulang. Orang lebih memilih diam dirumah daripada berkumpul di warung-warung kopi, surau pun tampak sepi setelah isya, biasanya ramai dengan orang yang mengaji.

Seminggu sudah, Kimi meninggalkan bekas luka menganga bagi gank gula-gula. Kepergiannya ke alam baka, membuat Bibu makin menggila. Tiap malam ia menyebar anak buah menyisir setiap tempat yang dicurigai tempat persembunyian Jo, si Badut. Tapi sudah seminggu Jo, tidak ditemukan. Jo, si Badut seperti hilang ditelan bumi. Jangankan batang hidungnya, kelebat bayangannyapun tidak pernah kelihatan. Memang Jo dikenal licin selicin belut. Ia bisa menyamar sebagai siapa saja, wanita, nenek-nenek, waria ataupun apa saja.

Bibu kebingungan,anak buah andalannya sekalipun tidak mampu menemukan Jo. Si pembunuh Kimi.Suatu malam Bibu, berteriak-teriak gila. Anak buahnya tak ada yang mampu mengobati sakit hatinya Bibu atas kematian Kimi. Hanya beberapa botol minuman keras yang setia menyertainya. Anak buah bibu tak seorang pun yang berani mendekatinya. Bibu berteiak sejadi-jadinya, ia sangat menyesal tidak bisa membalas kematian Kimi yang sangat menyesakkan dada. Kimi tidak saja sebagai wanita yang menjadi pelepas segala kesusahan dan penderitaan Bibu, Kimi juga sebagai teman sekaligus wanita yang ia hormati karena sempat menyelamatkan nyawanya dari Kang Salhi yang mencoba meracunnya saat minum-minum di kedai kopi.

Sebagai manusia biasa,Bibu merasa bersalah tidak mampu membalas jasa kepada Kimi. Onggokan tanah merah tempat jasad Kimi dikebumikan tampak masih segar, seolah menunggu Bibu untuk dapat menemukan dan membalas dendam pada Jo. Kimi dikebumikan di belakang rumah tua tempat gank gula-gula berkumpul.

Makamnya dihiasi syal merahnya yang anggun. Syal merah itulah yang biasa melilit dileher indahnya. Syal merah itulah yang membuat orang tergoda untuk membopong Kimi ke atas ranjang. Kimi,satu-satunya wanita anggota gank Gula-gula. gank yang paling ditakuti dan disegani oleh warga masyarakat karena kebrutalannya,karena sikapnya yang tak mempunyai belas kasihan. Gank yang sekaligus disegani pihak keamanan karena licinnya pergerakan mereka.

Bibu terdiam,mata merahnya menatap tajam tempat bersemayamnya Kimi. Ia menangis sejadi-jadinya di depan batu nisan. tak dipedulikan lagi anak buahnya yang menonton terkesima, tak dipedulikan lagi sikap bengisnya. Bibu hanya menangis.menangis penyesalan yang mendalam. Ia tersungkur diatas makam Kimi. Tangannya menggenggam kuat tanah merah yang mengubur jasad Kimi.

Saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat. Menghampiri Bibu yang tersungkur di atas kuburan Kimi. sejenak bayangan itu mendekat dan kilauan pisau kecil tampak bersinar terkena cahaya bulan yang meredup, sosok itu menusuk punggung Bibu berkali-kali. darah segar menyembur dari punggungnya. Bibu terkapar tepat di atas kuburan kimi. darah segar menghiasi syal merah dan kurubran basah Kimi. titik-titik kecil air hujan tutun menyertai Bibu yang sekarat.


Anak buah Bibu, tidak mampu berbuat banyak. Mereka menyaksikan peristiwa yang berlangsung hanya beberapa detik itu dengan terkesima. Sosok hitam yang tidak dikenal itu menghilang ditelan kegelapan malam dalam sekejap.

Selasa, 21 Oktober 2008

Masa lalu

Membaca beberapa tulisan beberapa tahun yang lalu tampaknya tulisan tersebut terkesan masih "gelagapan" untuk di baca dan terlalu universal serta bingung bila terus terang untuk siapa sebenarnya sasaran tulisan tersebut?

Beberapa sajak-sajak kecil yang memang ditulis secara langsung, artinya ketika mengalami, menyaksikan dan mengamati lalu semua peristiwa tersebut direkam dalam tulisan pendek. Entah sajak-sajak kecil ataupun tulisan sederhana.

Ada sebuah tulisan yang membanggakan dan kemudian menyedot motivasi tinggi untuk terus mencoba menulis yaitu ketika tulisan kecil berupa Resensi sebuah buku tentang Budaya Sunda yang telah diabaikan oleh anak-anak kita. Tulisan itu sebenarnya dikirim tanpa sengaja ke Isola Pos, tentang tahunnya saya kurang jelas. Mungkin sekitar tahun 1994 dan 1995. Di kolom resensi buku itulah tulisan kecil itu tampil. Sangat menggembirakan meskipun level nya level koran kampus. Meskipun pembaca Isola Pos saat itu masih kalangan mahasiswa.

Tulisan kecil tersebut didokumentasikan secara konvensional dalam album photo sederhana. Beberapa tulisan kecil sejak SMA dan masa kuliah tercerai berai entah kemana. Tapi jika ditelisik mungkin masih ada tentunya. Hanya waktu untuk mencarinya tentu membutuhkan energi ekstra.

Sepertinya mengumpulkan berbagai dokumen tersebut perlu dilakukan sebab, bagaimanapun kualitas dan bentuknya tentunya memiliki nilai tersendiri. masih ingat kan sajak Nursalam Adi?
atau sajak sedrhana berjudul Neng? sajak itu kan pernah dibaca di Cianjur? saat penutupan P3M (pengabdian Pada masyarakat)...wuih...dan ketika perasaan saat itu memang betul-betul mengalami perubahan ke arah kedewasaan.

Atau sajak sederhana tentang seorang gadis berwajah ceria bermulut kecil?masih ingat ga?masih ingat ga? apa perlu saya tanya dua kali ? untuk mengingat sajak tersebut?.

Masih ingat tentang tulisan sederhana tentang seminar? coba cari deh..lucu-lucu.

Baik, Mr. Remember ? ana akan mencari dan mendokumentasikan, amasih di rumah kok. tulisan itulan yang memberikan motivasi tersendiri bahwa menulis itu harus terus dan terus.....tulis..tulis...tulis..baca...baca...bacaa..

Semakin tergugah ketika pertemuan selam 2 minggu di srengseng Sawah, jaktim. Pertemuan dengan para Maestro sastra, Taufik Ismail!PimREd Majalah Horizon Jamal D Rahman, Cerpenis Joni Ariadinata. Aktor dan Penyair Agus R sarjono, dan Sutradara sekaligus Aktor handal Putu Wijaya.

Pengalaman membanggakan dan sepertinya tidak akan pernah teralami lagi. sampai jumpa lagi kawan.....

Bus dan Diablo

Depan terminal. Bis teronggok, memuntahkan penumpang yang berdesakan saling dorong dan berlarian tergesa-gesa menuju pintu keluar. Desiana, Mahasiswi semester empat fakultas sastra terhimpit dalam kegalauan hati penumpang yang berhamburan menuju tempat tujuan.
Aroma khas masyarakat kebanyakan tercium ramah menusuk hidung memasuki desir-desir darah nadi yang mengalir lesu.Bang Supir, Kang Kondetur, Mak fu, karyawan kantor, mahasiswa, pelajar SMU, tukang koran yang lehernya digelayuti berita korupsi,pemerkosaan, debat presiden AS, perkelahian pemain bola dengan wasit serta wasit dengan manajer, pemilu dan lainnya. Urat nadinya dan tenaganya rela ia korbankan untuk memberikan berita kepada kita, khalayak penikmat berita.
Di sudut bus, berdiri miring Diablo. Diablo! Pengamen bus dengan suara melengking yang menembus hati nurani yang teronggok kemerahan sedikit menghitam berpenyakitan.
Diablo.Bernyanyi untuk merdeka. Menyerukan keinginan daerahnya untuk bebas dari kolonialisme, pemberatan dan pengadopsian tanah yang semena-mena. wuih...diablo.
Mak Fu. Menelisik bergerilya mencabuti dompet-dompet tipis penumpang, memilah dan memilih rupiah dalam dunia bayangan demi setetes rejeki yang harus ia kejar dengan segala cara dan resiko.bug!hati-hati Mak Fu! Nt bisa dilaporin orang yang ga kasihan sama nt! masa copet kere dilaporin nyopet?
Bus penuh! Wak Din, menyeru. suaranya lantang bak Bung Tomo, saat membakar semangat arek-arek Suroboyo melawan penjajah. Bang Moch penarik tali rem, menggertak stater dan menggebrak gas bus reyot yang hidungnya berlumuran polusi sejak tadi pagi. Bang Moch melempar senyum sinisnya pada Burhan. Eh..Bur? Kapan lu, naik mobil gua?". serunya. Burhan tertawa kecil. He..Moch.Elu tuh yang bikin penumpang jadi ikan asin". Pake AC dong,'masa bus gede enggak pakai AC ? " di ambil ya ? di bawa ke rumah kan ?. Tooooooootttttt.....klakson besar ditekan kasar bang Moch. Menghentikan ejekan Burhan. Burhan terdiam. Bus besar perlahan bergerak, mengantarkan mimpi penumpangnya menuju sorga khayalan...mungkinkah?
"Diablo?' masih disana?"
Aku tahu Diablo? kamu masih disana ?"
selamat siang Diablo?"
balas cintaku dengan nynayian mesummu.
Diablo?". selamat tinggal. Aku pulang duluan ke kampung. kita bertemu lagi di kebun jagung. Aku rindu janggutnmu, Diablo"....

Bus perlahan merengkuh jalan impian, menuju tujuan dengan beban berlebihan di badannya...satu persatu baut-baut perkasanya berguguran seiring jaman. Badannya makin blepotan, tebal oleh kebisingan dan racun kendaraan muda di depannya.

Wak Ayo

Jam berdentang, tanda pulang. Anak-anak berhamburan keluar kelas dengan gembira. Menyeret tas-tasnya yang berat oleh buku-buku pelajaran. Aku bergegas meninggalkan kelas, mencari teman-teman sepermainan menuju pulang.
Kutemui Us, Enceng dan Udi yang sudah berkumpul dibawah pohon bambu dipojok sekolah. Us tampak bercerita sesuatu, wajahnya tampak sumringah dan menahan tawanya. Enceng dan Udi tampak tersenyum. Aku menghampiri mereka. Ternyata Us sedang bercerita tentang pengalamannya menjahili Ii saat mau buang hajat di pancoran. Aku pun ikut tertawa.
Setelah bercerita tentang menjahili Ii, Us bercerita bahwa setiap sore, mobil Wak Ayo selalu lewat sekolah dan berjalan dengan lambat. Bila kita berniat naik ke mobil baknya sangatlah mudah, enak lho katanya.ngeennggg....kapan lagi naik mobil gratis, Man?,”. Ajaknya kepadaku. Aku berpikir sejenak, kutatap Enceng dan Udi. Mereka tampak tertarik. Kami memang belum pernah sama sekali menaiki mobil. Mobil di kampung kami ya, hanya mobil pengangkut sayuran milik wak Ayo itu. karena itu, akhirnya, kami setuju untuk mencegat mobil Wak Ayo dan naik di belakangnya sebab ingin mencoba naik mobil...ngeeeennnngggg ...Kami bertiga pulang bersama-sama. Nanti jam tiga sore kumpul kembali di bawah pohon duren untuk melakukan aksi naik mobil gratis...
Waktu beranjak begitu cepat. Selepas makan siang dan shalat dzuhur, aku mecoba tiduran di beranda depan. Tampak Bapak pulang sawah, badannya berlumuran lumpur, tangan kirinya menenteng belut kesukaan adik. Tak terasa, mulut menguap beberapa kali dan aku tertidur pulas. Terdengar suara ngeeennggggg...dan deru mobil yang keras.....Us menghampiiri dan berkata, ‘ segera naik, Man,”. Nanti ketinggalan..suara terdengar menghentak. Aku meloncat naik mobil bak terbuka itu...udi dan Enceng mengikuti...angin sore menyeruak menyentuh wajah kami...ngeeeeennngggg.....
Man...man....maaannn...bangun! suara itu mengagetkanku. Samar-samar wajah Ibu, menatapku dengan serius. ,” Man, itu teman-temanmu menunggu!”kata Ibu. Aku terperanjat. Mimpi rupanya. Mimpi naik mobil bak terbuka milik Wak Ayo. Kupalingkan muka kea rah teman-teman yang menunggu. Us tampak mengerdipkan matanya, Udi dan Enceng memberi tanda dengan mengangkat jempol tangannya. Gimana Man, jadi enggak ?,” Tanya Us. “Jadi !” seruku.
Kami berempat bergegas menuju sekolah hendak mencegat mobil Wak Ayo, hanya untuk mencoba bagaimana nikmatnya naik mobil. Ya, naik mobil bak terbuka, dengan terpaan angin sore yang sejuk dan mengelilingi desa tanpa jalan kaki. Jalan menuju sekolah tidak terlalu jauh, hanya perlu melintasi sungai kecil dan melewati kebun singkong milik Haji Ibrahim yang sejuk. Saat melewati kebun singkong Haji Ibrahim, Enceng dan Udi tak henti bersiulan sambil bernyanyi dangdut Kang Oma Si Raja Dangdut.
Us tampak semangat, aku tahu ia pun belum pernah sama sekali naik mobil. Begitu pun Enceng dan Udi. Kami anak kampung yang jauh dari kota, alat transportasi yang ada hanya delman Kang Idi, yang tiap hari hilir mudik menarik orang kampung yang hendak bepergian, entah ke pasar ataupun ke kampung tetangga. Kendaraan roda empat yang ada hanya mobil bak terbuka milik Wak Ayo, itupun sudah tua dan blepotan sampah-sampah sayuran. Sementara pemilik motor tidak ada sama sekali sebab mana ada masyarakat yang mampu beli motor, untuk keperluan sehari-hari saja sulit. Kalau Wak Ayo sih, karena ia keturunan orang kaya tadinya. Mobil bak terbuka Wak ayo tadinya adalah milik orang kota yang memiliki utang kepada Mak Diah, Ibunya Wak Ayo. Karena hutangnya tidak terbayar maka dibayar dengan mobil bak terbuka tersebut. Meskipun tergolong mobil tua, tapi mobil itu sangat bermanfaat bagi Wak Ayo untuk menarik sayuran warga desa ke pasar.
Tiap sore, mobil Wak Ayo mengangkut sayuran,dan selalu lewat di depan sekolah jalannya cukup menanjak jadi mobil berjalan pelan, saat itulah kita bisa meloncat ke dalam bak mobil yang terbuka tersebut. Itulah rencananya. Kami sampai di depan sekolah, jalanan cukup licin dan Us berkata bahwa saat mobil menanjak dan berjalan pelan segeralah meloncat ke dalam bak mobil yang terbuka.
Us berkata bahwa mobil bak terbuka miliki wak Ayo biasanya lewat pukul 16.15 tepat. Kami bersiap sambil menerawang ke arah timur tempat datangnya mobil. Enceng dan Udi tampak gelisah, mobil yang ditunggu belum datang juga. Waktu yang menunjukkan pukul 16.15 tepat . Apakah Us berbohong ?,”. Us juga tertegun, kenapa mobil belum datang juga. Apakah Wak Ayo tidak menarik sayuran sore ini atau Wak Ayo berhalangan. Us tertegun sambil duduk di tanah basah, pantatnya tampak kotor karena tanah yang didudukinya becek. Us menerawang kearah timur, matanya tak berkedip mengawasi situasi jalanan. Angin sore berhembus pelan, membelai wajah kami dengan lembutnya.
Aku pun mulai gelisah, kami tidak bercakap sedikitpun. Udi dan Enceng yang sejak tadi berdiri kemudian duduk disamping Us. Tanah becek yang didudukinya tak dipedulikan, kegelisahan menyelimuti rona wajah mereka. Awan hitam bergelayut diarah timur, wajahnya muram dan tak bersemangat menyertai hati kami yang kecewa. Ngeeeennnggg.....desah Udi dengan wajah pesimis. Enceng yang sedari tadi terdiam, mengernyitkan dahinya dan berkata,” Mungkinkah Wak Ayo sakit? Atau mobilnya selip di belokan dekat sungai ?,”. Kami bertiga tidak menjawab.
Hari beranjak gelap ketika kami masih setia menunggu mobil Wak Ayo. Us tampak terdiam. Tak ada kata-kata sedikitpun. Mulutnya terkatup seperti dikunci. Enceng dan Udi tertunduk saling melempar rasa sesalnya. Aku ikut terdiam. Aku merasakan rasa kecewa dan kekesalan mereka menunggu mobil Wak Ayo. Us kemudian berdiri tampak pantanya blepotan lumpur kotor, ia berkata lemah. “mungkin Wak Ayo tidak mau kita menumpang mobilnya,”serunya ketus. Aku memutuskan mengajak Us, Udi dan Enceng pulang sebab hari sudah gelap takut Bapak dan Ibu kehilangan dan mencari-cari. Rona kekecewaan menyelimuti wajah kami berempat, bayangan indahnya naik mobil Wak Ayo hilang sudah, diganti dengan kekecewaan mendalam pada Wak Ayo...
Kami bergegas pulang, melewati kebun singkong Haji Ibrahim dan melintasi sungai kecil menuju kampung membawa kekecewaan. Suara jengkerik menyertai kepulangan kami. Mungkinkah kekecewaan untuk Wak Ayo itu tepat?. Kami tidak tahu. Mungkin saja Wak Ayo ada halangan lain, atau mungkin petani sayur tidak panen?.
Sampai di kampung, hari sudah malam.
Kami terkejut dengan kerumunan orang di rumah Pak RT yang menyebut-nyebut Wak Ayo dan mobil bak terbukanya. Kami mendekat, beberapa orang tua berbicara dengan serius. “Bagaimana kejadiannya , Run ? ,”.Terdengar suara Pak RT bertanya kepada Kang Irun. Kang Irun adalah tukang sayur di desa sebelah yang biasa menitipkan sayurannya kepada Wak Ayo untuk di bawa ke pasar. “Wak Ayo kecelakaan, mobil bak terbukanya tergelincir masuk jurang dekat sungai kecil”.
“Orang-orang desa sedang menolongnya”. Empat ekor kerbau sedang mencoba menarik mobil bak terbukanya”. “belum berhasil diangkat Pak !“. Saya bergegas pulang karena istri sedang sakit. “Nasib Wak Ayo sendiri saya tidak tahu”. Kang irun menuturkan ceritanya sambil berurai air mata. Semua orang terdiam. Kami berempat ikut terdiam. Angin malam menelisik hati kami masing-masing. Seolah menertawakan rasa kekecewaan kami yang berlebihan pada Wak Ayo....maafkan kami Wak...
(kisah misua waktu kecil dulu di kampung)